Ala Santri



Para Pejuang itu Adalah Santri

Santri pondok pesantren itu ampuh. Di tanah Jawa ini, yang paling ditakuti penjajah (Belanda) adalah santri dan tarekat (thariqah).  Ada seorang santri yang juga penganut thariqah, namanya Abdul Hammid. Beliau lahir di Dusun Tegalrejo, Kec. Tegalrejo, Yogyakarta. Mondok pertama kali di Jetis, Tegalsari, Ponorogo, kepada KH. Hasan Besari. (Beliau peletak dasar pendirian pesantren Gontor)
Abdul Hamid ngaji kitab kuning kepada Kyai Tafzani Kertosuro. Ngaji tafsir Jalalain kepada KH Baidlowi Bagelen yang dikebumikan di Glodegan, Bantul, Jogjakarta. Terakhir Abdul Hamid ngaji ilmu hikmah kepada KH. Nur Muhammad Ngaiwongso, Salaman, Mangelang.
Di daerah bekas karesidenan Kedu (Temanggung, Magelang, Wonosobo, Purworejo, Kebumen) nama KH. Nur Muhammad yang masyhur ada dua yang satu KH. Nur Muhammad Ngadiwongso , Salaman, Magelang, dan satunya lagi KH. Nur Muhammad Alang – Alang Ombo, Pituruh, yang banyak menurunkan kyai di Purworejo.
Abdul Hamid sangat berani dalam berperang melawan penjajah Belanda selama 5 tahun, 1825 – 1830 M. Abdul Hamid wafat dan dikebumikan di Makassar, dekat Pantai Losari. Abdul Hamid adalah putra Sultan Hamenkubuwono ke – III dari istri Pacitan, Jawa Timur.
Abdul Hamid patungnya memakai jubah dipasang di Alun – Alun kota Magelang. Menjadi nama kodan dan Universitas di Jawa Tengah, terkenal dengan nama Pangeran Diponegoro. Pangeran Diponegoro membuat Belanda resah mengahadapi perang Diponegoro. Dalam kurun waktu 5 tahun itu uang kas Hindia Belanda habis, bahkan punya banyak hutang di luar negeri.   Nama aslinya Abdul Hamid, nama populernya Diponegoro. Adapun nama lengkapnya adalah Kyai Haji Bendoro Raden Mas Abdul Hamid Ontowiryo Mustahar Herucokro Senopati Ing Alogo Sayyidin Pranotogomo Amirul Mukminin Khalifatullah Tanah Jawi Pangeran Diponegoro Pahlawan Goa Selarong.
Maka jika pergi ke Magelang dan melihat kamar Diponegoro di eks Karesidenan Kedu, istilah sekarang di Bakorwil, ada 3 peninggalan Diponegoro : 1. Al Qur’an 2. Tasbeh 3. Taqrib (kitab Fath Al Qarib).   Kenapa Al Qur’an? Diponegoro adalah seorang muslim, kenapa tasbih? Karena Diponegoro seorang ahli dzikir, dan bahkan penganut thariqah.
Habib Lutfi bin Ali Bin Yahya Pekalongan mengatakan bahwa Diponegoro seorang mursyid thariqah Qadiriyyah. Selanjutnya yang ketiga, Taqrib matan Abu Syuja’, yaitu kitab kuning yang dipakai di pesantren yang bermadzab Syafi’i.
Dulu ada tokoh pendidikan nasional bernama Douwes Dekker. Douwes Dekker Danudirja Setiabudi, leluhurnya itu seorang Belanda yang dikirim ke Indonesia untuk merusak bangsa Indonesia. Namun ketika Douwes Dekker berhubungan dengan para kyai dan santri, mindset nya berubah, yang semula ingin merusak kita justru bergabung dengan pergerakan bangsa kita. Bahkan semangatnya melebihi bangsa kita sendiri. Douwes Dekker pernah berkata dalam bukunya “kalau tidak ada kyai dan pondok pesantren, maka patriotisme bangsa Indonesia sudah hancur berantakan.”
Siapa yang berbicara? Douwes Dekker orang yang belum pernah nyantri di pondok pesantren, seumpama yang berbicara saya, pasti ada yang berkometar “Hanya biar pondok pesantren laku”. Tapi kalau orang luar yang berbicara ini adalah temuan apa adanya, tidak di buat –buat, maka kembalilah ke pesantren.
            Ki Hajar Dewantara (Suwardi Suryaningrat) itu adalah santri, tidak hanya Diponegoro anak bangsa yang di didik oleh para ulama menjadi tokoh bangsa. Diantaranya, di Jogjakarta ada seorang kyai bernama Romo Kyai Sulaiman Zainuddin di Kalasan Prambanan punya santri banyak, salah satunya bernama Suwardi Suryaningrat, yang kemudia diangkat menjadi Bapak Pendidikan Nasional yang terkenal dengan nama Ki Hajar Dewantara.
Jadi Ki Hajar Dewantara adalah santri, ngaji, dan murid seorang kyai. Sayangnya hal itu tidak diterangkan di sekolah – sekolah, yang diterangkan hanya Ing Ngarso Sun Tulodo, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani, itu sudah baik, namun belum utuh. Maka nantinya diharapkan para guru mohon diterangkan bahwa Ki Hajar Dewantoro, selain punya ajaran Tut Wuri Handayani, juga punya ajaran Al Qur’an Al Karim. Sayyid Husein al – Mutahar adalah cucu nabi yang patriotis. Malah, ketika Indonesia merdeka, ada sayyid warga kauman Semarang yang mengajak bangsa kita untuk bersyukur.
Sang sayyid tersebut menyusun lagu Syukur. Dalam pelajaran Sekolah dasar disebutkan Habib Husein Al Mutahar yang menciptakan lagu Syukur, beliau adalah pakdenya  Habib Husein al – Mutahar SH Semarang. Jadi yang menciptakan lagu syukur adalah seorang sayyid cucu baginda Nabi SAW. Akhirnya diangkat menjadi Dirjen Pemuda dan Olahraga. Terakhir dipercaya menjadi Duta bsar di Vatikan, negara yang berpenduduk Katolik.
Di Vatikan Habib Husein tidak larut dalam keadaan, malah membangun masjid yang besar, dan membuat lagu yang di hafal seluruh rakyat Indonesia. Suatu ketika Habib Husein Muthahar sedang duduk, lalu mendengar adzan shalat dhuhur, sampai pada kalimat “hayya ‘alashalah” terngiang suara adzan, sampai sehabis shalat berjamaah juga terngiang.
Akhirnya hatinya terdorong untuk membuat lagu yang cengkoknya mirip, membuat lagu yang cengkoknya mirip adzan, ada “S”nya. “A”nya, “H”nya. Kemudian pena berjalan, tertulislah :

17 Agustus tahun 45
Itulah hari kemerdekaan kita
Hari merdeka nusa dan bangsa
Hari lahirnya bangsa Indonesia
Merdeka ...
Sekali merdeka tetap merdeka
Selama hayat masih dikandung badan
Kita tetap setia
Tetap sedia
Mempertahankan Indonesia
Kita tetap setia
Tetap sedia
Membela negara kita

Peran para kyai dan para sayyid tidak sedikit dalam pembinaan patriotisme bangsa, malahan bung Karno ketika mau membaca teks proklamasi di Pegangsaan Timur Jakarta, minta didampingi putra Kyai. Tampillah putra seorang kyai dari kampung Batuampar, Mayakumbung, Sumatra Barat. Siapa beliau?
H. Mohammad Hatta putra seorang kyai, adalah putra Ustadz kiai Haji Jamil, Guru thariqah Naqsayabandiyah Khalidiyah. Sayang sejarah Bung Hatta adalah putra seorang kyai dan penganut thariqah tidak di jelaskan, yang diterengkan hanya Bapak Koperasi. Mulai sekarang, mari kita terangkan sejarah dengan utuh, jangan sekali – kali memotong sejarah.
Pesan penting bagi santri, belajar dari Mbah Mahrus Aly, jika kewajiban dari Allah sudah dilaksanakan, maka Allah yang akan menata, jika Allah yang menata sudap pasti sip. KH. Mahrus Aly Lirboyo pernah dawuh
“Nek ngaji kok nempel wongtuo, ora temu – temuo”
Maka masuklah pesantren, biar cepat dewasa pikirannya.

Komentar