Part I
Nb : Karena permintaan fans yang mendesak, akhirnya diterbitkanlah cerpen ini. Ok langsung aja, bekicot ...
Takdir
Jam duduk di
sudut ruangan ini telah berdenting 12 kali yang berarti, waktu telah
menunjukkan pukul 12 siang. Dan itu artinya aku telah menunggu di tempat ini
selama 2 jam, ya menunggu ketidak pastian yang selalu aku lakukan setiap
harinya. Kali ini seperti biasanya aku
pulang dengan tanpa ekspresi seperti orang mati. Namun, harapanku akan kabar
darinya tak pernah redup.
Tanpa sengaja,
aku menabrak seorang pria berkacamata, kulit putih, dan tubuh tinggi. Namun,
pria itu terlalu menyebalkan untuk kusebut tampan. Dia menyuruhku ganti rugi, karena laptopnya yang
terjatuh saat kita bertabrakan.
“Eh, punya mata ga sih?” si kacamata dengan nada tinggi.
“Sorry, gue ga sengaja”
“Lo, gimana sih? Emang cukup sorry aja? Pokoknya lo harus
gantiin laptop gue”
“Gue kan ga sengaja, kok lo nyolot sih? Lo juga kalo jalan
pake mata dong”
“Siniin, tas lo” Langsung mengambil tas ku.
“Gue, ga mau tau, pokoknya lo harus gantiin laptop gue” Dia
mengambil KTP ku dan beranjak pergi.
Mungkin, hari
ini keberuntungan sedang tidak berpihak padaku. Aku merasa sangat lelah dan
perih, lalu kuputuskan untuk melepas segala penat itu dengan mengunjungi sang
Maha Cinta. Air wudhu yang membasahi wajahku terasa begitu menyegarkan, satu
doa yang selalu aku panjatkan “Ya Allah, pertemukanlah kami walau hanya sekejap
mata”.
***
Aku terus
merenung di kamar ku, memikirkan bagaimana cara mengganti laptop manusia
kacamata itu sedangkan, aku juga banyak pengeluaran akhir – akhir ini.
Tok tok tok (suara pintu diketuk)
“Dek, makan dulu. Disuruh mama tuu …” Suara kakakku
“Iyaa kak, ganti baju bentar!” Lalu kau segera menuuju ruang
makan, dan orang tuaku sudah menunggu serta kak Yadi juga.
“Aswin, Mama sama Papa punya kabar baik buat kamu” Papa
Aswin memulai pembicaraan di meja makan.
“Kamu pasti seneng pokoknya”
Mama ikut menimpali
Aku menatap
mereka semua dengan bingung, aku tak mengerti apa yang mereka maksud.
“Nih, dek. Buka aja dulu” Kak Yadi menyodorkan amplop coklat
bertali padaku.
Mataku nanar,
tak percaya dengan apa yang aku lihat. Setelah lama ternyata aku bisa lulus tes
Universitas Brawijaya di Malang. Sungguh tiada kata yang dapat menggambarkan
perasaanku saat itu. Langsung ku peluk kedua orang tuaku dengan tangisan haru,
dan ucapan syukur yang tiada henti pada yang Maha Kuasa.
Aku juga
memeluk kakakku dengan bahagia, kali ini kita baikan. Aku langsung menuju kamar dan memberitaukan
kabar bahagia ini lewat grup line kami.
Aswin : Eh, aku diterima di UB J
Angelista Putri : Yang bener?
Febrypa : Iyaakah?
Febrypa : Sumpah?
Febrypa : Njiir
Febrypa : Selamet yaa?
Desita : Woooh, Iyakah Win?
Aswin : Iyaaa, eh ga nyangka aku.
Nisa Ussa’adah : Boleh tu ntar main ke UGM :D
Aswin : Iyaa Nis
Febrypa : Balaa eh, pokoknya kamu harus mampir ke kosanku
Angelista Putri : Ntar ke Atmajaya juga
Aswin : Iyaa Iyaa
Cyntia Ridianita : Iyaakah? Sama kayak kakakku donk
Febrypa : Hahaha
Febrypa : Calon kakak iparmu, Cyn !
Cyntia Ridianita : Dihhhh, Ogah yaa?
Aswin : Ndak lah Cyn
Nisa Ussa’adah : Hahaha
Desita : Jodoh ga ada yang tau eh
Percakapan kami
berakhir sampai disitu, mungkin karena yang lainnya sibuk. Kami adalah teman
dari SMA yang sama, yang seperti teletubies yang selalu berpisah dengan cara
yang menyenangkan dan selalu berharap agar esok dapat berjumpa lagi, walau
kadang tak akur dan tak jarang bertengkar namun kita tetap satu sahabat.
Walaupun sekarang kami terpisah oleh jarak dan waktu, Febry yang masuk Fakultas
Sosiologi di Muhammadiyah Malang, Angel yang masuk Fakultas Bioteknik di
Atmajaya Jogjakarta, Nisa yang sedang pusing di Fakultas Kedokteran
Univerisitas Gajah Mada Jogjakarta, lalu Cyntia yang masuk Akpol di Magelang,
serta Desita yang mengambil jurusan IKIP di Universitas Mulawarman.
Aku
sangat merindukan mereka, canda tawa kami waktu itu, dan semua kenangan yang
tak bisa ku jelaskan. Namun aku tau, seperti sebelumnya, pasti kita akan
bertemu suatu saat nanti, dan menceritakan kisah terbaik kami dengan bangga dan
senyum. Lalu kami akan memperkenalkan sahabat kami kepada anak – anak kami
kelak.
***
Udara subuh
pagi ini, terasa lebih segar dari biasanya. Hari ini adalah hari
keberangkatanku ke Malang, untung saja KTP ku yang waktu itu sudah diuruskan,
jadi ga ada masalah waktu pesan tiket. Pagi – pagi sekali aku memutuskan untuk
pergi ke rumah Desita dan berpamitan dengannya. Juga minta doa supaya disana
nanti lancar saja.
“Kak, anterin kerumah temenku donk, bentar aja”
“Kemana sih dek? Kamu nanti jam 10 berangkat loo”
“Bentar aja kak, akum au pamitan sama temanku”
“Yaudah deh, bentar aja. Inget”
Aku
berpamitan dengan Desita dengan rasa haru yang menyelimuti dadaku, aku tau
sebenarnya Desita juga terharu namun dia menahan air matanya untuk jatuh. Setelah
itu aku langsung pulang dan persiapan berangkat.
Perlahan, aku
melihat Pulau Kalimantan, hanya sebagai gambar timbul yang terukir Indah di
permukaan bumi. Di atas sini, dengan sejuta harapan yang membuat aku bisa
bertahan hingga hari ini, dan satu keinginan untuk bertemu denganmu. Aku hampir
mendekatinya sekarang, hanya tinggal beberapa kilometer lagi.
***
“Aswin, aku ada di Ressto Bee, seberang pintu tiga. Pakai
baju merah hati” Chat dari Febry yang sangat membantu ku dalam melewati keramaian
di Bandara Abdul Rachman Saleh, Malang.
Setelah
berjalan cukup lama, akhirnya aku menemukan tempat yang dimaksud oleh Febry.
Dan kita bertemu, saling memandang, mematung, dan membisu. Seakan tak percaya
bahwa yang kita lihat adalah sahabat yang sempat hilang. Dan kini kembali lagi
disuatu tempat yang tak pernah kita duga, mungkin kita akan mengukir cerita
indah kita yang lain dan itu semua di mulai dari sini.
“Febry … Aku kangen banget” Kataku, sambil memeluk Febry.
“Ih, gimana kabar? Nanti aja deh ceritanya, ke kosanku dulu
aja”
Febry Putri (Mahasiswi Jurusan FKIP Sosiologi UM) |
Febry lalu
mengajakku ke kosannya dan menginap disana. Dia juga menawariku untuk satu
kosan dengannya karena jarak dari kosannya ke kampus tidak begitu jauh. Aku
setuju, lagipula disini aku hanya mengenal Febry saja.
Hari
pertama menjadi Maba *pindahan, rasanya memang sedikit canggung, apalagi dengan
budaya yang berbeda. Aku seperti orang asing di negeriku sendiri. Aku masih
kaku dengan logat mereka sehingga kesulitan untuk menanyakan sesuatu pada
mereka. Akhirnya aku menemukan ruang dekan yang memberiku petunjuk akan sebuah
organisasi “Mapala” yang siap membantu mahasiswa baru yang kesulitan.
Tanpa pikir
panjang lagi, aku segera mencari ruangan organisasi itu dan kebetulan disana
hanya ada satu orang mahasiswa, yang sedang merapikan file di brangkas.
“Assalamu’alaikum” Kataku
“Wa’alaikumsalam” Orang itu menoleh
Apa dunia itu sesempit ini? Orang itu adalah manusia
kacamata, yang menyebalkan yang waktu itu.
“Eh, mana laptopnya? Lo mau kabur kesini dan malah ketemu
sama gue, sial banget nasib lo”
“Maaf kak, nanti secepatnya saya ganti” Jujur saja, aku
ingin sekali menendang manusia kacamata ini jauh – jauh, kalau perlu sampai
keluar dari bumi, tapi apa daya, aku hanya bisa menurutinya karena aku
mahasiswi baru disini.
Wahyu Bagaskara (Manusia Kacamata) |
***
Tulangku
rasanya ingin melepaskan diri satu persatu, dari persendiannya dan system
gerak. Mungkin saja mereka juga ingin
menghirup udara sejuk di Malang. Gara – gara si kacamata itu, aku pulang dengan
bawaan buku satu lemari, yang aku sendiri ga tau itu fungsinya apa. Aku
langsung merebahkan diri di dalam kamar dan aku kembali mengingat dia, yang
menjadi tujuan utamaku mati – matian belajar supaya sampai ke tempat ini, aku
pasti akan menemukannya suatu saat nanti.
“Aswin, bangun” Febry menggoyangkan badanku.
Aku
mengerdipkan mata, melirik jam tanganku. Oh tidak, sudah pukul 7 lewat, astaga
aku kesiangan. Entah apa yang akan terjadi pada diriku nanti, mungkin saja si
manusia kacamata itu akan menghukumku lari atau yang macam – macam. Aku langsung bergegas mencuci muka, mengganti
pakaian, tanpa mandi dan langsung menuju kampus. Untunglah, jarak dari kosan ke
kampus tidak begitu jauh. Tapi nampaknya, aku tidak bisa santai, karena di
depanku sudah berdiri berlagak dan dengan senyuman menyebalkannya, menatap
kearahku. Ya, “Wahyu Bagaskara”, manusia kacamata yang menyebalkan.
“Eh, anak baru, udah berani telat ya?” Tanyanya dengan nada
mengejek.
“Maaf kak…” Kataku, sambil terus menunduk
“Yaudah, sono jalan”
(Ketika aku lewat didepannya, dia menjegal kakiku hingga aku
terjatuh)
“Sorry, ga sengaja” Katanya, tanpa melirik untuk menolongku
dan berlalu begitu saja.
(Lalu tiba – tiba dia kembali padaku dan menatap dekat
wajahku”
“Jangan lupa laptop gue” Katanya dengan wajah tanpa dosa.
Ahhh,
aku kesal sekali kenapa didunia ini ada makhluk seperti dia. Kenapa
Tuhan?. Baru beberapa hari disini, aku
sudah sangat kesal. Aku merasa tak ada yang mengerti aku, tak ada yang sama,
seperti aku di Samarinda. Disini berbeda, aku kesal sangat kesal. Namun aku
harus kuat, ini semua demi dia. Aku merindukannya “Relanda Abimanyu”.
***
Tak terasa,
tinggal beberapa semester lagi aku disini dan aku belum menemukan titik terang
keberadaan Abi. Juga titik terang akan laptop si Manusia Kacamata, ahh bukankah
sebentar lagi dia akan diwisuda? Perasaan apa ini? Kenapa jantungku memompa
darah lebih cepat dari biasanya? Mungkin aku hanya terlalu senang karena si
Kacamata itu tidak akan menggangguku lagi untuk selamanya.
Namun,
entah mengapa ada sesuatu dalam diriku yang hilang, mungkinkah aku terlalu
merindukannya? Ahh, kenapa hatiku? Aku akan mengganti laptopnya nanti saat
wisudanya. Bukan, bukan itu. Sudahlah aku akan focus mencari Abi.
Hari ini,
adalah hari wisudanya, laptop baru yang telah kubungkus kertas kado berwarna
biru bermotif batik kesukannya, telah ku bawa. Juga serangkaian bunga Aster
yang ku beli tadi pagi di depan kampus, aku terharu melepas kepergiannya. Sekilas
aku melihatnya samar dari kejauhan ia memakai baju wisuda dan toga, berkumpul
bersama teman – temannya, dia tertawa dan sering melempar senyum ke arahku dan
senyuman itu yang akhir – akhir ini menemani sepiku disaat malam datang.
Aku pasti
akan sangat merindukannya, dalam lubuk hati yang paling dalam dan tanpa
kusadari, aku mengatakan bahwa ada rasa yang mulai kurasakan saat pertama kit
abertemu. Aku tau itu bukan cinta, aku hanya menyukainya dan aku berharap ia
juga merasakannya. Perlahan banyangannya mulai mendekatiku, dengan senyumannya
yang menybalkan ia mengucapkan salam perpisahan seolah tanpa beban. Aku juga tidak ingin terlalu berharap
padanya, karena aku tidak ingin merasakan sakit untuk yang kesekian kali, sudah
cukup.
“Hei, kamu bawa hadiah untukku?” Gaya bicaranya beda dari
biasanya.
“sejak kapan pakai aku kamu?”
“Sejak hari ini?, eh bungkusan itu untukku, kan? Dia lalu
mengambil kado yang memang untuknya.
“Iya, itu laptop yang kupecahkan 2 tahun yang lalu” Aku
menjawab dengan cuek.
“Hahaha, dasar bodoh” Dia lalu, menarik tanganku dan
memelukku lalu kita berfoto bersama.
“Aku akan sering mengunjungimu” Katanya dengan nada santai
“Aku ga mau, kamu menyebalkan” Jawabku berpura – pura kesal
Dia lalu
menarik tanganku dan mendaratkan ciumannya di bibirku. Aku mencoba
melepaskannya, namun entah mengapa, ada rasa yang membuatku ingin berlama –
lama dengannya. Setelah itu dia memelukku dengan erat lalu dia mengatakan.
“Bertahanlah, sebentar saja”
Jantung
ini, seakan ikut berpacu, aliran darah yang tak menentu mewarnai perasaanku
saat itu. Aku ingat sekali hangat pelukannya, dan wanginya, serta perkataannya
yang mampu membuatku sejenak melupakan Abi dan mulai terbius akan rayuannya.
“Atau mungkin aku yang akan menunggu, sampai kamu
melupakannya” Dia berkata dan melepas pelukannya, lalu menatap mataku dalam.
***
Komentar